Kamis, 12 April 2012

Merindukan Sosok Umar bin Abdul Aziz



Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasehat. Salah satu ulama tersebut, Hasan Al Bashri, menasehatinya seperti ini : Anggaplah rakyat seperti ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau menyayangi anakmu" Nasehat ini diingat dan dijalankan dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul khalifah yang kita kenal dengan kezuhudannya, yang terkenal dengan kehati-hatiannya dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di Baitul Mal yang kala itu sedang merebak bau harum kesturi di sana.

Seorang petugas Baitul Mal terheran-heran dan bertanya, "Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?" Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya dengan menghirup harum kesturi ini"

Ialah khalifah yang dijuluki oleh para ulama sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5, saking akhlaknya yang mendekati para Khulafaur Rasyidin yang empat itu.

Sekarang? susah rasanya berharap, hanya sekedar berharap pemimpin-pemimpin kita mau meniru Khalifah Umar bin Abdul Aziz apalagi kita selalu mengingat dan menjalankan nasehat dari Hasan Al Bashri. Kita, rakyat, seperti kata Goenawan Muhamad, bahkan cuma dianggap ada 5 tahun sekali, ketika masa pemilu tiba dan masa kampanye mulai digelar. Kita, rakyat, cuma diingat, diperhatikan, didatangi, dan didengarkan 5 tahun sekali. Kita, rakyat, cuma dianggap sebagai ayah, saudara, dan anak 5 tahun sekali.

Dan jika masa pemilu lewat, lewat pulalah masa-masa 'bulan madu' antara rakyat dan pemimpin itu. Lupalah para pemimpin kita dengan janji-janjinya, dengan program-programnya, Kalau orang Jawa bilang, "Masih untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, daripada tidak sama sekali" Ya, memang masih untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, tapi sayangnya dalam 'masa ingat rakyat' yang cuma sekali-kalinya dalam 5 tahun itu pun, masih saja pemimpin-pemimpin kita tega merendahkan dan menghina harga diri rakyatnya.

Suara kita, hak pilih kita yang tak ternilai itu, konon dalam demokrasi kedudukannya setara dengan suara Tuhan, tega mereka beli dan hargai hanya dengan beberapa ratus atau bahkan puluh ribu rupiah. Dan kita, yang lebih sering berpikir pendek dan hanya bisa berpikir besok makan apa dengan senang hati menggadaikan masa depan negeri ini yang sebenarnya adalah juga masa depan kita bersama di tangan pemimpin-pemimpin yang sebenarnya tak lebih dari sekedar tukang sogok, demi uang yang tak seberapa itu.

Sungguh luar biasa negeri ini. Yang tak pernah berkaca dari kesalahan-kesalahan masa lalu hingga selalu terperosok ke dalam lubang kedzaliman, yang tak pernah mengambil teladan dari sikap orang-orang besar di masa lalu, yang selalu salah memilih pemimpin-pemimpinnya. Sungguh luar biasa negeri ini yang hanya untuk menangani anak-anaknya yang protes dengan kebijakan-kebijakan aneh yang kerap diambil ibunya, merasa perlu untuk menurunkan puluhan bahkan ratusan aparat bersenjata pentungan dan peluru karet, menjewer anak-anak nakal itu dengan mendoakan mereka bahkan kalau perlu menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan ini dan itu.

Sungguh luar biasa negeri ini, yang ketika rakyatnya di daerah sampai harus mengorbankan nyawa demi kehormatan dan harga diri partainya, pemimpinnya di atas malah sibuk menjual aset-aset negara.

Sungguh, kita hidup di sebuah negeri yang luar biasa. Sebuah negeri yang menyamakan kejujuran dengan barang antik yang hanya pantas ditaruh di museum. Hanya bisa dilihat, dibayangkan, dan dikenang, meski kadang bisa disentuh. Ketika seorang anggota dewan mengembalikan uang suap yang ratusan juta jumlahnya, ketika ada yang menolak dana kadeudeuh ia malah dianggap sebagai pengkhianat atau pencari simpati rakyat. Sebagian lain menganggapnya bodoh dan munafik.

Ketika ada anggota dewan yang mengaku pada wartawan bahwa ia disodori amplop yang tak jelas maksud pemberiannya dan ia mengembalikannya, ia malah dimusuhi rekan-rekannya, dituduh mengumbar aib partai atau fraksi, dan ujung-ujungnya di-recall atau dipecat.

Dan sekarang, masa ingat rakyat itu hampir tiba. Saksikan saja, betapa sebentar lagi (atau mungkin sudah?) suara kita akan didengar, betapa pertanyaan-pertanyaan kita akan dijawab meski tak jelas, dan betapa-betapa yang lain.

Dan sekarang, ketika harus memilih wakil kita yang akan duduk di dewan, ketika presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyat, sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi sangat kita rindukan untuk menjadi sosok yang akan kita pilih.

Sebuah kerinduan yang mungkin akan ditertawakan oleh sebagian orang, sebagai buah dari rasa pesimis yang sebenarnya wajar karena dikecewakan terus-menerus, kekecewaan rakyat kecil kepada pemimpinnya.

Sebuah kerinduan yang harus kita yakini akan dijawab oleh Allah. Pasti ada, walau segelintir, orang-orang yang dianggap aneh, bodoh, munafik, pengkhianat, atau apalah karena keteguhan mereka memegang kebenaran di antara berbagai kebobrokan yang menyergap tanpa ampun, menyusup di segala lini kehidupan.

Pasti ada, segelintir orang yang ingin dan berusaha meneladani kezuhudan, kehati-hatian, dan keberpihakan pada rakyat kecil seperti yang telah dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ya, kita semua rakyat yang bisa memupus kerinduan ini. Kitalah yang akan memilih Umar-Umar baru sebagai wakil kita, sebagai pemimpin kita. Pada akhirnya, kita jualah yang menentukan masa depan bangsa.

Menabur dan Menuai





Hari Kamis, pukul setengah tujuh pagi di terminal Depok. Rutinitas kegiatan di kawasan terminal berjalan seperti biasa. Orang-orang yang berjejer menunggu kedatangan bis di tengah kepulan asap knalpot. Pedagang asongan yang hilir mudik. Dan seperti hari-hari kemarin, juga selalu saja ada pengamen di atas bis, terutama di dalam bis Patas AC. Banyak pengamen mencoba mengais nafkah di saat bis sedang ngetem menunggu penumpang.

Pagi itu saya naik bis ketika dua orang pengamen sedang mengalunkan lagu-lagu tempo dulu ciptaan Ebiet G. Ade. Suaranya enak, mirip penyanyi aslinya yang bersuara khas itu. Musiknya juga enak. Masing-masing membawa gitar dan melakukan duet yang terasa pas di telinga. Selesai menyanyi, seperti biasa salah satu diantaranya menyusuri deretan penumpang sambil menyodorkan kantong plastik bekas bungkus permen. Saya mengamati. Banyak penumpang yang memberi uang. Malah beberapa diantaranya terlihat memasukkan uang seribuan ke kantong plastik si pengamen. Wah, ternyata masih cukup banyak warga masyarakat kita yang memiliki jiwa sosial.

Lima menit kemudian, pengamen kedua naik. Satu orang saja, dengan menyandang gitar kecil. Suaranya parau dan sumbang. Apalagi dentingan dawai gitarnya. Nadanya entah ke mana, tidak seiring dengan lagunya. Setelah selesai dengan 1 buah lagu ia segera menyorongkan kantung plastiknya. Dan, nyaris tidak ada yang memberi uang, kecuali seorang ibu berjilbab yang duduk di depan saya.

Belum ada 10 menit kemudian, 3 orang pengamen lain secara bersamaan mulai mendekati bis yang saya naiki. Si kondektur mencoba melarang. “Yah, baru aja turun tuh! Udah 2 lagi. Kasian penumpang. Bis lain aja!” serunya. Dengan cengar-cengir salah satu pengamen berkata sambil tetap menaiki bis. “Namanya juga usaha, Bang. Ada yang ngasih atau engga mah perkara belakangan. Permisi ya Bang.”

Kali ini alat musiknya paling komplit dibandingkan dengan yang sebelumnya. Dua biola plus 1 gitar. Dan lagu-lagu yang dibawakannya bagus betul. Kompak dan harmonis. Penjiwaannya pun kelihatan. Rasanya tidak kalah dengan yang ada di kafe-kafe. Saya mulai berpikir, “Tadi kan sudah dua yang ngamen dan banyak yang sudah ngasih pada pengamen pertama. Masih ada engga ya, yang mau ngasih lagi?” Ternyata, pengamen ini pun menuai cukup banyak uang. Saya masih melihat uang seribuan kembali bermunculan.

Kemudian ini yang terbersit di benak. “Pantas lah mereka mendapatkan itu. Penumpang juga bisa melihat bahwa mereka bersungguh-sungguh ingin menjual sesuatu yang berkualitas, bukan sekedar meminta-minta seperti pengamen kedua.” Suatu hubungan sebab akibat yang logis.

Pernahkah Anda merenungkan bahwa hidup ini kok seperti untaian panjang hubungan sebab akibat yang kompleks? Mungkin semacam yang disebut karma oleh penganut agama Budha. Apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai. Namun, tentu saja ini tidak lantas berarti hidup kita menjadi sedemikian matematis seperti 2+2=4. Karena sesungguhnya hubungan sebab akibat itu kadang sederhana saja dan kadang rumit. Di satu waktu, terjadinya suatu peristiwa kelihatan begitu logis mengikuti peristiwa sebelumnya. Namun kali lain, yang terjadi bisa sebaliknya. Sudah menabur kebaikan, kok ya menuai masalah dan kesusahan. Dipikir jungkir balik, siang malam, tanya kanan kiri, tetap saja rasanya tidak masuk akal. Orang tua-tua kita dulu sering menyikapinya dengan mengajukan pertanyaan bernada introspektif seperti begini, “Oalah dalah. Salah apa sih aku ini, sampe harus mengalami kejadian ini?”

Hubungan sebab akibat dalam kehidupan bisa terjadi sesederhana ini. Bila kita mempersiapkan diri dengan baik untuk suatu ulangan atau ujian, maka tak heran bila kita lalu mendapatkan nilai yang baik untuk mata pelajaran yang diujikan. Dalam rentang waktu yang lebih panjang, tidak jarang hubungan sebab akibat itu juga dapat dilihat dengan sama jelasnya. Jika kita membesarkan anak dalam kondisi miskin kasih sayang, penuh dengan celaan dan caci maki, maka jangan kaget bila di kemudian hari kita mendapatkan manusia dewasa yang pemarah, rendah diri dan anti memuji atau minta maaf. Bahkan pada skala yang lebih luas seperti dalam kehidupan bernegara pun, hubungan sebab akibat itu bisa terlihat dengan gamblang. Pemimpin negara yang membangun pemerintahannya di atas pilar-pilar nafsu atas kekayaan materi dan kekuasaan, tentunya juga tak akan menuai cinta dan penghormatan dari rakyatnya. Lalu kalau akhirnya pemimpin itu terguling dengan tidak hormat, mungkin orang akan menganggapnya sebagai suatu kewajaran belaka (seperti negara kitakah ini?)

Di sisi lain, hubungan sebab akibat yang rumit juga kerap terjadi pada siapa saja. Rasa-rasanya kita sudah berusaha cukup keras atau sudah melakukan yang terbaik atau tidak pernah berbuat jahat pada orang lain, tetapi kenapa kok mendapat masalah seperti ini? Mungkin ada yang tertimpa musibah kebakaran, kemalingan atau mungkin anaknya terlibat narkoba padahal merasa selama ini telah berusaha mencari rejeki yang halal dan cukup beramal-ibadah. Atau barangkali juga gagal dalam karir dan pekerjaan padahal merasa telah berusaha sekuat tenaga. Lalu mengapa?

Orang bijak bilang hidup itu suatu seni. Bila dianalogikan, mungkin hidup itu mirip dengan kegiatan memasak yang katanya juga merupakan seni. Resep sama, bahan sama, dimasak oleh dua orang yang berbeda, hasilnya belum tentu bisa 100% sama. Yang berbakat dan atau trampil pasti menghasilkan masakan yang lebih lezat. Di balik itu pasti ada rahasia dan kiat tertentu yang mungkin dikuasai sang koki lewat uji coba atau latihan tekun selama bertahun-tahun, atau lewat pengorbanan lain yang tidak semua orang mau melakoninya. Itu juga suatu hubungan sebab akibat yang jelas.

Bagi saya pribadi, gambaran kehidupan memang persis seperti proses masak memasak itu. Supaya hidup senantiasa menghasilkan yang “lezat-lezat”, harus menabur sesuatu yang baik-baik dan harus punya “bumbu” serta kiat rahasia. Apa sih “bumbu” dan kiat rahasianya? Bagi saya adalah cinta, kesungguhan dan keikhlasan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan cinta dan kesungguhan akan memberikan hasil yang lebih prima. Cerita tentang pengamen di atas bis tadi menggambarkan hal ini dengan baik. Seluruh penumpang yang ada dalam bis itu bisa menilai. Mana pengamen yang menyanyi sekedarnya dan mana yang melakukannya dengan penuh cinta, kesungguhan dan keikhlasan. Penuh cinta dan kesungguhan karena mampu menyajikan lagu dan musik yang indah dan enak didengar. Kepiawaian ini tentunya tidak datang sekonyong-konyong. Ikhlas menyanyi sebagus mungkin walaupun mungkin nanti ternyata tidak ada yang memberi uang. Hasilnya langsung dapat dilihat saat itu juga. Penumpang bis umumnya tidak segan merogoh dompet atau kantongnya untuk memberikan imbalan atas lagu-lagu yang dinyanyikan dengan baik.

Cinta dan kesungguhan yang ada dalam hati sanubari akan mewujud sebagai sebuah kesadaran yang menjadi penggerak sikap dan seluruh tindak-tanduk kita. Cinta terhadap pekerjaan dan tugas-tugas kita adalah sumber energi yang tiada habis-habisnya untuk selalu memperbaiki dan menyempurnakan apa yang sedang kita lakukan. Dengan cinta dan kesungguhan, apa yang kadang nampak tidak mungkin menjadi mungkin. Lalu bagaimana dengan keikhlasan? Keikhlasan bersumber dari kesadaran tentang eksistensi Sang Maha Kuasa. Sang Maha Penentu yang paling berwenang atas kehidupan manusia dan seisi alam ini. Kita harus mencoba memahami dan memaknai hidup kita hanya untukNya sebagaimana yang kita ucapkan berulang-ulang dalam sholat-sholat kita. Dia Sang Pencipta, Dia pula yang berhak menentukan apa yang harus kita tuai.

Kadang mungkin kita merasa telah menabur kebaikan dan kebaikan. Bila yang datang kemudian adalah kegagalan dan musibah, mungkin itu sudah menjadi kehendakNya. Sebab sebagai orang Islam kita tidak mengenal hukum karma. Jadi sudah, terima saja dengan ikhlas. Wong kita juga memang tidak bisa mengubah “jalan cerita”. Itu 100% hak Si Empunya Kehidupan. Cuma dalam rangka terus memperbaiki diri, kita tetap perlu instropeksi. Coba saja periksa ulang apa yang telah kita tabur. Jangan lupa cek pula kelengkapan “bumbu-bumbu rahasia”nya. Bila “kambing hitam”nya tetap sulit ditemukan, jangan langsung menyingkirkan “kaca mata” hubungan sebab akibat itu. Anggap saja Allah sedang menggunakan hak vetoNya, melakukan intervensi dalam kehidupan kita, menabur benih tertentu agar kita kelak dapat menuai sesuatu di masa depan. Sesungguhnya hidup itu penuh misteri dan manusia tidak akan mampu memahami rencana Allah. Pabila saatnya tiba, barulah kita sadar hikmah akan segala sesuatu yang telah digariskanNya.